YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Perombakan kabinet sebaiknya tidak dilakukan karena dorongan kepentingan politik semata, tetapi betul-betul dipertimbangkan berdasarkan obyektivitas penilaian kinerja kementerian. Demikian kata seorang pengamat.
“Dasar politik untuk melakukan reshuffle memang kita tidak bisa menutup mata, tetapi kalau pertimbangannya hanya itu, dikhawatirkan justru akan memunculkan problem, bukan solusi,” kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Mada Sukmajati, di Yogyakarta, Senin (13/4/2015).
Menurut Mada, dorongan beberapa kalangan, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), agar Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi memang patut dipertimbangkan. Namun, indikator yang digunakan seharusnya bukan hanya berbasis pada kepentingan politik semata.
Seharusnya, ia mengatakan, dorongan evaluasi itu dapat disertai dengan penyertaan rapor masing-masing menteri selama enam bulan bertugas.
“Jadi, ada baiknya kalau usul evaluasi juga sembari menyodorkan rapor merah atau biru para menteri,” kata dia.
Dengan begitu, masyarakat akan memperoleh gambaran mengenai urgensi dari perombakan tersebut. Perombakan juga tidak boleh sampai dianggap sebagai upaya untuk memperkuat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) saja.
Selain itu, dia mengatakan, mekanisme evaluasi kinerja atau perombakan kabinet yang obyektif juga perlu dipastikan sebab Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembagunan (UKP4) yang selama pemerintahan sebelumnya bertindak sebagai evaluator independen sudah dihapuskan.
“Jadi, kalau ada evaluasi kinerja kementerian itu kemudian siapa yang melakukan evaluasi? Ini kan kaitannya dengan standar obyektif penilaian kinerja,” kata dia.