Resensi Buku: Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Serentak

(30-08-2015)

Indonesia pasca otoritarianisme diwarnai dengan munculnya reorganisasi elite masa lalu yang hendak menjaga dominasi dalam era demokrasi baru (Hadiz & Robison, 2004). Hal tersebut berimplikasi pada maraknya perilaku predator politik yang dilakukan elite, baik dalam tingkat politik nasional maupun politik lokal.

Perilaku predator politik yang fenomenal adalah perilaku politik uang, yang menggurita di setiap level pemerintahan melalui skema political budget cycle(Farhan, 2013). Perilaku politik uang, terutama dalam pemilu itulah yang kemudian menjaga eksistensi dan menyuburkan patronase dan klientelisme dalam era demokrasi.

Hasil penelitian kolaboratif yang diselenggarakan oleh Coral Bell School of Asia Pacific Affairs di Australian National University dan Politics and Government Research Center di Universitas Gadjah Mada tahun 2013-2014 ini melihat adanya relasi politik uang dalam pemilu yang kemudian menyuburkan praktik patronase dan klientelisme dalam demokrasi lokal. Patronase dimaknai sebagai bentuk distribusi materi atau keuntungan politik yang dilakukan oleh politisi kepada pemilih atau pendukungnya. Sedangkan klientelisme dipahami sebagai karakter relasi antara politisi dengan pemilih atau pendukung (hal 4).

Modus politik uang

Praktik politik uang dalam kajian buku ini dicontohkan dalam bentuk dana aspirasi dan pengerahan proyek pemerintah terhadap geografi maupun segmen konstituen tertentu (pork barrel), aksi jual-beli suara (vote buying), aksi dagang suara (vote trading), dan pemberian bantuan kepada kelompok sosial tertentu (club goods). Kedua pemahaman beserta varian contoh politik uang itulah yang kemudian digunakan sebagai perspektif analisis dalam memetakan dan mengelaborasi praktik politik uang di 19 daerah sampel penelitian.

Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam buku ini terletak pada dua premis penting. Pertama, sejauh mana aspek timbal balik (reciprocal trust) antara politisi dan pemilih itu terjaga sampai hari H pemilu digelar. Tidak ada jaminan 100 persen dari pemilih untuk tetap setia memilih politisi yang melakukan praktik politik uang. Kondisi ketidakpastian merupakan bagian dari ekses hubungan patrimonialisme baru di era demokrasi. Hubungan patronase kini bersifat egaliter, dinamis, dan rasional. Artinya, hubungan tersebut tidak mengikat pemilih dengan politisi tersebut, baik secara materi maupun afeksi.

Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menjadi pemilih pragmatis. Indikasinya bisa disimak dari istilah ora uwek ora obos, wani piro, cempedak dibawa bilik, ado kendak baru uak balek, dan ana duit ya dipilih. Munculnya berbagai macam ekspresi budaya politik lokal dari masyarakat tersebut sebenarnya juga terpengaruh pada sikap elite politisi maupun partai politik yang setelah mendapatkan kursi, justru melupakan konstituennya.

Kedua, sejauh mana praktik politik uang itu terus-menerus efektif sebagai alat kampanye dalam ajang pemilu. Pemilu yang menganut sistem proporsional terbuka membuat kompetisi sengit dan saling sikut antarpolitisi kian kuat. Hal itu berimplikasi pada aksi jor-joran dalam penggelontoran uang baik dalam bentuk club goods, vote buying, maupun juga vote trading.

Dampak kompetisi terbuka tersebut memunculkan friksi, saling intrik, bahkan intimidasi sesama calon satu partai maupun beda partai melalui uang maupun kekerasan untuk saling berebut suara publik. Kejadian yang sering terjadi di lapangan adalah munculnya swing voters yang kemudian bisa berubah preferensi politiknya hanya karena menilai besaran ”uang cendol” yang mereka terima dari politisi.

Kondisi demikian menjadi titik kritis dalam memahami politik uang. Hanya kandidat yang memiliki kekuatan material dan karisma personal memadai bisa mendapatkan dan mempertahankan kursi kekuasaan. Sementara bagi kandidat politisi yang tidak memiliki kedua sumber daya tersebut bisa jadi hanya menjadi pelengkap penderita dalam pemilu ini.

Tiga pola

Kedua pertanyaan penting di atas digunakan dalam menganalisis kasus di 19 daerah dalam mempraktikkan patronase dan klientelisme melalui politik uang. Secara garis besar, temuan riset yang dihasilkan dalam bunga rampai tulisan di buku ini menghasilkan pola menarik.

Pola pertama, patronase dan klientelisme berbasis etnisitas dan agama. Pola tersebut berlaku dalam kasus Aceh (Bener Meriah dan Bireuen), Sumatera Utara (Medan), Sumatera Selatan (Palembang), dan Bangka Belitung. Pola kedua, patronase dan klientelisme berbasis makelar politik (brokerage), baik itu organisasi sosial maupun organisasi massa seperti dalam kasus Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi dan Cirebon), Jawa Tengah (Pati dan Blora), Jawa Timur (Jombang dan Madiun).

Pola ketiga adalah patronase dan klientelisme berbasis pelayanan konstituen (constituency services) dalam kasus Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jayapura (Papua). Khusus mengenai broker politik, kajian Aspinall (2014) berjudul When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral Politics in Indonesia mempertajam aspek broker politik pemilu dalam ketiga varian. Varian tersebut adalah activist broker,opportunist broker, juga patrimonial broker yang dibedakan menurut sikap militan atau pragmatis broker dalam mendukung calonnya.

Ketiga pola patronase dan klientelisme tersebut merupakan intisari utama dalam buku ini. Politik uang dalam pemilu terjadi karena faktor mutualisme dan ketergantungan, baik dari sisi politisi maupun pemilih. Politisi ingin mempertahankan kursi jabatan dengan jalan instan dan cepat. Pemilih ingin dihargai hak dan keinginannya oleh politisi sehingga menjadikan suara sebagai alat penekan dan komoditas utama.

Kontribusi penting buku ini adalah menganalisis fenomena politik uang di Indonesia dalam pemilu yang selama ini hanya dilihat dari perspektif institusional. Melalui pendekatan behavioral, analisis politik uang menjadi dinamis mengenai peran dan aksi aktor, baik itu politisi, broker, ormas, maupun juga publik dalam memainkan peran.

Meski demikian, buku ini kurang berhasil menangkap adanya fenomena neo-populisme yang terjadi di Indonesia pasca desentralisasi. Kajian Mietzner (2015) dalam Reinventing Asian Populism melihat sosok Jokowi secara makro sebagai anomali dalam politik nasional Indonesia. Kemenangan dalam pemilu tersebut bukanlah karena politik uang, melainkan karena semangat melayani sebagai abdi publik.

Efek populisme dalam pemilu di era desentralisasi kini juga memunculkan pemimpin populis daerah lainnya, seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung). Oleh karena itulah, penerapan pemilu serentak yang dimulai akhir tahun 2015 menjadi tahun penting untuk melihat kontestasi awal antara politik uang berbasis patronase dan klientelisme dengan munculnya gelombang populisme ini. Sejauh mana tingkat pendalaman demokrasi masyarakat dipertaruhkan dalam membangun sistem politik dan pemerintahan yang baik.

Wasis Raharjo Jati – peneliti di Pusat Penelitian Politik-LIPI

————————————

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2015, di halaman 28 dengan judul “Tantangan Demokrasi dalam Pemilu Serentak”.