17-05-2016
YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon tunggal dalam pilkada serentak perlu diikuti perbaikan partai politik dalam melakukan kaderisasi. Parpol dituntut menghasilkan calon pemimpin yang memadai untuk diajukan dalam Pilkada.
“Memang perlu kami sambut baik (keputusan MK), tapi perlu ada evaluasi atau perbaikan terhadap kaderisasi parpol sehingga tetap bisa mensuplai calon yang memadai pada Pilkada berikutnya,” kata pengamat politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Abdul Ghafar Karim. di Yogyakarta, Minggu (4/10/2015), seperti dikutip Antara.
Menurut dia, penundaan Pilkada seperti di Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara karena hanya memiliki calon tunggal, tidak lain merupakan akibat masih minimnya kemampuan dan kemauan parpol dalam melakukan kaderisasi.
“Ketersediaan calon yang memadai untuk pilkada merupakan indikasi bahwa parpol masih lemah dalam melakukan kaderisasi,” kata Abdul Ghafar.
Oleh sebab itu, untuk pelaksanaan pilkada serentak gelombang berikutnya yang akan dilaksanakan pada 2017, menurut dia, diharapkan tetap dapat menghadirkan calon yang memadai meski putusan MK telah membolehkan calon tunggal.
“Meski calon tunggal diperbolehkan, tapi partai sebaiknya tetap menghadirkan calon yang memadai,” kata dia.
Sementara itu, dia menilai, putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu cukup demokratis.
“Karena dengan ditunda justru kompleksitas politik bertambah, dan keberlanjutan pembangunan daerah juga terhambat,” kata dia.
Pilkada yang mengakomodasi calon tunggal, kata Ghafar, justru telah sesuai dengan adat atau kearifan lokal yang telah diterapkan di Indonesia sejak lama khususnya dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa yang memungkinkan calon tunggal melawan bumbung atau kotak kosong.
“Apalagi selama ini kepala desa di banyak daerah yang dipilih dengan disandingkan dengan bumbung kosong tetap memiliki legitimasi dan berjalan lancar, tidak ada masalah,” kata dia.
Mahkamah Konstitusi sebelumnya menetapkan norma baru dalam mekanisme pemilihan kepala daerah dengan sepasang calon saja (calon tunggal). MK mengatur bahwa pemilihan calon tunggal dilakukan menggunakan kolom “setuju” dan “tidak setuju”.
Menurut MK, pemilihan melalui kolom “setuju” dan “tidak setuju” bertujuan memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih calon kepala daerahnya sendiri. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, masyarakat diberikan hak untuk mengikuti pemilihan, termasuk untuk memilih menunda pemilihan.
Apabila yang memilih kolom “setuju” lebih banyak, maka calon tunggal itu ditetapkan sebagai kepala daerah. Namun, jika lebih banyak yang memilih “tidak setuju”, maka pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pilkada pada periode selanjutnya.