SEMARANG (Jatengdaily.com)– Direktur Amrta Institute for Water Literacy Nila Ardhianie mengatakan, banjir di Kota Semarang merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang butuh penanganan serius.
Oleh karenanya, sejumlah peneliti dan akademisi melakukan penelitian terkait hal itu. ‘’Sejak Oktober 2020 – Januari 2021, Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses terhadap dan risiko terkait air di Kota Semarang tersebut,’’ jelasnya, dalam siaran persnya, yang dilansir pada Rabu (17/2/2021).
Penelitian menurutnya dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah (kritis, rentan dan aman), akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir dan amblesan tanah. Metode yang digunakan adalah survey dengan 319 responden yang berada di 6 lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur.
Dari penelitian itu ada beberapa temuan yang relevan sebagai penyumbang banjir. Diantaranya banjir disebabkan akibat amblesan permukaan tanah. Adapun pemicunya adalah pemakaian air tanah yang berlebihan. ‘’Misalnya, kami menemukan meskipun di wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM, warga masih menggunakan air tanah (ATDm) sebagai sumber air utama (contohnya di Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah). Ketiga, PDAM sendiri masih menggunakan ATDm sebagai salah satu sumber air bakunya. Sehingga terjadi pengambilan air tanah yang berlebihan,’’ jelasnya.
Beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah akibat pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut.
Temuan kedua yang relevan adalah mengenai tingkat dampak yang dirasakan warga yang tinggal di daerah dekat pantai yang makin tinggi. Responden yang tinggal di Mangkang Wetan, Randu Garut, Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan paling banyak mengalami banjir (baik akibat luapan sungai maupun rob).
Temuan ketiga, adalah penduduk yang tinggal di dekat pantai menghadapi risiko lain terkait air yaitu kesulitan mendapat air bersih, dimana air di daerah ini biasanya payau karena terpengaruh air laut. Karena itu kawasan dekat pantai seharusnya menjadi prioritas mendapat layanan jaringan PDAM, sayangkan di lokasi penelitian yang berada dekat pantai yaitu Mangkang Wetan, Randu Garut dan Terboyo justru belum dilayani oleh PDAM. 98,8 % responden yang tinggal di kawasan ini memperoleh air dari air tanah.
Hasil penelitian keempat adalah adanya perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul dan Terboyo juga berperan meningkatkan risiko banjir. Semula kawasan ini adalah tempat resapan air dari bagian Semarang atas dan sekarang telah berubah menjadi kawasan perumahan dan industri. Hal ini menyebabkan kapasitas infiltrasi berkurang, air tidak dapat meresap ke tanah sehingga tergenang. Selain itu perubahan tata guna lahan juga menambah beban tanah di area tersebut yang potensial menyebabkan terjadinya amblesan tanah.
Sedangkan temuan kelima, penelitian juga menunjukkan bahwa respon dominan terhadap banjir adalah melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidraulik. Hal ini sudah dimulai sejak Belanda mulai meluruskan aliran Sungai Garang menjadi Banjir Kanal Barat pada 1850 yang diikuti dengan pembangunan Banjir Kanal Timur di sisi kanannya pada 1896. Mega infrastruktur ini ditunjang oleh pengoperasian pompa yang tersebar di banyak lokasi di Semarang. Dari website Dinas Pekerjaan Umum diketahui terdapat 78 pompa di seluruh Semarang yang difungsikan di 43 rumah pompa dengan kapasitas 83.620 m3/detik.
‘’Berdasarkan riset kami, kami menyimpulkan risiko terkait air di Semarang sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasn rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut dan konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi. Oleh karenanya, pendekatan yang digunakan sekarang tidak lagi tepat digunakan sebagai pendekatan utama,’’ jelasnya.
Menurutnya, beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir di Semarang adalah pengelolaan dari sisi permintaan (demand management) melalui efisiensi penggunaan air.
Pemerintah juga perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah, pemanenan air hujan pada beragam skala dan pengembangan sistem peringatan dini.
Juga demokratisasi infrastruktur, yaitu mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan mega infrastruktur yang tersentral dan biasanya dipaksakan dari atas ke bawah pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari bawah ke atas.
‘’Pemahaman yang lebih baik akan faktor-faktor yang berpengaruh meningkatkan risiko banjir perlu dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat agar Semarang memiliki respon yang lebih baik apabila terjadi bencana di masa datang,’’ katanya. She
(Publikasi awal di Jateng Daily.com, 17 Februari 2021)
Foto oleh: Ground Up 2020