Land Subsidence Perparah Banjir di Semarang

KBRN, Semarang : Sejak Oktober 2020 hingga Januari 2021, Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses terhadap dan risiko terkait air di Kota Semarang.

Beberapa temuannya relevan dengan kejadian banjir di Semarang pada awal Februari 2021. Penelitian dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah (kritis, rentan dan aman), akses jaringan PDAM, risiko banjir. dan amblesan tanah. Metode yang digunakan adalah survei 319 responden pada enam lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur.

Temuan pertamanya adalah ketergantungan Semarang yang besar pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari 79,7 persen. Dari 79,7 persen tersebut, sebanyak 48.6 persen menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31.1 persen menggunakan air tanah dangkal (ATDl).

“Pemanfaatan ATDm dilakukan secara komunal yaitu melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang diinisiasi oleh pemerintah. Kemudian, pengelolaan sumur dilakukan pengurus yang dibentuk di wilayah setempat dan yang sejak awal dikelola warga,” kata Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol Uiversitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Amalinda Savirani dalam webinar mengenai faktor potensial yang mempengaruhi keparahan banjir di Semarang, Selasa (16/02/2021).

Pihaknya menemukan wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM, responden di lokasi tersebut menggunakan air tanah (ATDm) sebagai sumber air utama seperti di Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Kangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah). Ketiga, PDAM sendiri masih menggunakan ATDm sebagai salah satu sumber air bakunya.

Ketergantungan pada air tanah, lanjut Linda, relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence), dan selanjutnya amblesan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir.

Banjir yang dimaksud adalah 1) bajir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada dan 2) banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang.

Beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut.

Professor Tata Kelola Air pada University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education Margreet Zwarteveen dalam kesempatan yang sama menjelaskan, penyedotan air tanah berlebihan biasanya menyebabkan terjadi amblesan tanah dalam skala luas sedangkan pembebanan bangunan menyebabkan amblesan yang lebih lokal. Selanjutnya, dampak yang dirasakan oleh warga yang tinggal di daerah dekat pantai yang makin tinggi.

“Selain rob dan banjir warga yang tinggal di pesisir pantai juga menghadapi risiko lain terkait air yaitu kesulitan mendapat air bersih, dimana air di daerah ini biasanya payau karena terpengaruh air laut. Karena itu kawasan dekat pantai seharusnya menjadi prioritas mendapat layanan jaringan PDAM, sayangkan di lokasi penelitian yang berada dekat pantai yaitu Mangkang Wetan, Randu Garut dan Terboyo justru belum dilayani oleh PDAM,” jelasnya.

Peneliti Ground Up, Bosman Batubara dalam penelitiannya di Semarang menyimpulkan risiko terkait air di Semarang sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasn rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut dan konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi maka pendekatan yang digunakan sekarang tidak lagi tepat digunakan sebagai pendekatan utama.

“Pemahaman yang lebih baik akan faktor-faktor yang berpengaruh meningkatkan risiko banjir, perlu dimiliki pemerintah dan masyarakat agar Semarang memiliki respon yang lebih baik apabila terjadi bencana di masa datang. Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir di Semarang, seperti pengelolaan dari sisi permintaan melalui efisiensi penggunaan air,” imbuhnya.

Pemerintah perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah. Selain itu permanenan air hujan pada beragam skala, pengembangan sistem peringatan dini, dan demokratisasi infrastruktur. Demokrasi ini berarti mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan megainfrastruktur yang tersentral dan biasanya dipaksakan dari “atas ke bawah”.

Kemudian, pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari “bawah ke atas”.

(Publikasi awal di RRI.co.id, 17 Februari 2021)