(25-02-2014)
JAKARTA, KOMPAS.com — Hasil penelitian yang dilakukan Power Welfare and Democracy (PWD) Universitas Gadjah Mada dan University of Oslo mengungkapkan, perpolitikan di Indonesia mulai mengarah pada munculnya kampanye pro-rakyat (populisme). Para elite politik berusaha memperluas basis dukungan melalui program-program pro-rakyat.
Di sinilah, hubungan demokrasi dan kesejahteraan mulai terbangun. Namun, hubungan kedua hal tersebut masih harus dikritisi. Peneliti UGM, Amalinda Savirani, menuturkan bahwa para elite mulai menerapkan gerakan populisme untuk membuat koneksi langsung antara pemimpin dan yang dipimpin.
Kebijakan yang ditawarkan pun “apa yang disukai rakyat”. Hal ini dianggap menyederhanakan masalah kebijakan. “Kecenderungan di Indonesia, populisme bukan dalam makna yang ideologis, yaitu menginjeksi kedaulatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam hal ini, memang demokrasi dan kesejahteraan sudah tersambung, tapi bentuknya seperti apa masih perlu dikritisi,” ujar Amalinda dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/2/2014).
Amalinda pun mengakui bentuk strategi populisme ini masih memberikan kelas yang berbeda antara penguasa bersama kroni dengan rakyatnya.
Sementara itu, profesor bidang Ilmu Politik dan Penelitian Pembangunan dari University of Oslo, Olle Tornquist, menambahkan, bentuk hubungan seperti itu sebenarnya tidak lagi diminati masyarakat. “Saat ini masyarakat punya informasi yang lebih baik. Sangat sulit membayar suara mereka melalui sistem klien dan patron seperti ini yang kemudian disebut sebagai populisme,” kata Olle.
Sistem seperti ini, sebut Olle, telah menciptakan stagnansi demokrasi di Indonesia. Kebijakan diambil secara top-down tanpa melibatkan masyarakat yang paling terkena dampaknya. Padahal, kebijakan yang diambil disebut pro-rakyat. Salah satu yang dia soroti adalah soal tuntutan kesejahteraan buruh. Dia berharap agar ada pelibatan kelompok masyarakat kecil ini dalam proses pengambilan kebijakan.