Yogyakarta, Jum’at 18 November 2022 – Dalam rangka kerjasama pendidikan dan penelitian dengan Norwegian University of Science and Technology, Departemen Politik dan Pemerintahan UGM menyelenggarakan sebuah kuliah umum berjudul “Indonesia’s Natural Resources and Democracy under Capitalism without Industrialisation”. Kegiatan ini diselenggarakan pada hari Jum’at, 18 November di Ruang 201, Gedung BA, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan difasilitasi oleh program Citizen Engagement and Natural Resource Governance Education (Citres-Edu).
Acara ini menghadirkan Max Lane, Visiting Senior Fellow, Institute of Southeast Asian Studies – Yusof Ishak Institute, Dosen Tamu di FISIPOL UGM, sekaligus penulis buku UNFINISHED NATION: Ingatan Revolusi Aksi Massa dan Sejarah Indonesia dan Editor buku, Continuity and Change after Indonesia’s Reforms: Contributions to an Ongoing Assessment. Acara yang dipandu oleh Desi Rahmawati (Peneliti PolGov UGM) ini berupaya memahami pengelolaan sumber daya alam secara umum dalam konteks rezim ekonomi dan politik di Indonesia. Secara spesifik, diskusi ini mengaitkan pengelolaan sumber daya alam dengan sistem demokrasi yang bekerja dalam kapitalisme tanpa industrialisasi di Indonesia.
Dalam pembukaannya, Lane menegaskan bahwa sumber daya alam adalah kunci untuk masa depan Indonesia. Meski begitu, dalam kuliah umum ini, Lane tidak akan berfokus pada kekayaan alam tertentu di Indonesia. Dirinya turut menganalisis seberapa demokratis proses pengelolaan sumber daya.
Lane memparkan data yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara miskin menurut angka PDB per kapita global. Menurut Lane, Indonesia dikategorikan sebagai negara miskin karena tidak bisa menjalankan industrialisasi. Lane melanjutkan Indonesia masih sangat bergantung pada impor mesin untuk menyokong produksi pabrik yang penting bagi industrialisasi. Berkaca data BPS 2019, sektor manufaktur mesin di Indonesia berkontribusi hanya 0.3% dari PDB dan 1% dari sektor manufaktur.
Lane kemudian memaparkan Indonesia secara spesifik, dan negara di bagian dunia Selatan (Global South) secara umum, tidak bisa menjalankan industrialisasi karena tidak adanya industrialisasi di bawah penjajahan Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda tidak membangun pabrik apapun yang signifikan di Indonesia. Di samping itu, Lane menyampaikan bahwa Indonesia juga “dirampok” sehingga, ketika merdeka, Indonesia tidak memiliki pabrik, universitas, sekolah, dan bahkan berhutang pada Belanda.
Lane menyebut Indonesia berada lingkaran setan kutukan kolonialisme. Menurutnya, seluruh negara bekas jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan mengalami hal serupa dan benasib sama dengan Indonesia terkait dengan warisan ini. Hal ini berhubungan dengan produktivitas karena minim industrialisasi sehingga produktivitas rata-rata seluruh pekerja dan masyarakat stagnan atau menurun.
Pada situasi ini, kekayaan sumber daya alam dapat menjadi basis kedaulatan Indonesia untuk meningkatkan posisi tawarnya di masa depan. Lebih jauh, untuk keluar dari jebakan ini, Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang bernasib sama di belahan dunia Selatan, misal melalui BRICS, untuk mempercanggih teknologinya. Kekayaan sumber daya alam juga dapat menjadi basis dan kunci untuk bernegosiasi dengan negara maju.
Di akhir diskusi, Lane menyatakan untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia, kerjasama yang dilakukan berbasis kekayaan sumber daya alam harus dilakukan secara demokratis. Seberapa demokratis suatu negara dapat dilihat dari sejauh mana informasi yang benar beredar dan diperdebatkan di masyarakat sehingga masyarakat hingga akar rumput memiliki informasi terkait situasi kekayaan alam di Indonesia. Indonesia membutuhkan debat publik yang terus-menerus terkait nasib kekayaan alam sebagai aset vital dalam membangun Indonesia ke depan.