Pemanfaatan Air Tanah Berlebihan Picu Banjir

SEMARANG, suaramerdeka.com – Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses dan risiko terkait air di Kota Semarang.

Salah satu tim peneliti, Bosman Batubara yang juga mahasiswa Program Doktor pada IHE Delft Institute for Water Education mengatakan, di antara temuan atau hasil kajiannya tersebut menunjukkan ketergantungan Semarang yang besar pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari (79,7%). Dari persentase tersebut, sebanyak 48,6 % di antaranya menggunakan air tanah dalam dan 31,1 % menggunakan air tanah dangkal.

“Kami menemukan di wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM, responden di lokasi tersebut menggunakan air tanah dalam sebagai sumber air utama. Sebagai contohnya Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Karangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah,” sebutnya dalam konferensi pers secara daring/virtual, Selasa (16/2).

Menurutnya, ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence).

Pada sisi lain, amblesan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir. Banjir yang dimaksud adalah banjir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada.

“Selain itu, banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang,” ujarnya.

Dijelaskan pula, beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut.

Direktur Amrta Institute for Water Literacy dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Nila Ardhianie menyatakan, beberapa temuannya dipandang relevan dengan kejadian banjir yang terjadi di Semarang beberapa hari lalu.

Sementara itu, sejumlah peneliti yang turut melakukan kajian ini antara lain Muhammad Reza Shahib (Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Atas Air – KruHA), Dr Amalinda Savirani (Kepala Departemen Politik & Pemerintahan, Fisipol Uiversitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Kemudian Prof Margreet Zwarteveen (Professor Tata Kelola Air pada University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education) serta Dr Michelle Kooy (Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola pada IHE Delft Institute for Water Education).

(Publikasi awal di Suara Merdeka.com, 16 Februari 2021)