Kuasa dalam Rantai Industri Berbasis Inovasi

Kuasa dalam Rantai Industri Berbasis Inovasi

Topik: Kekuasaan, Kesejahteraan, dan Demokrasi

Tahun: 2017

Penulis: Nur Azizah, Suci Lestari Yuana, Indri Dwi Apriliyanti

Penyunting: –

Rekanan: PolGov

Deskripsi:

Konteks governance dalam Global Value Chain (GVC), pola relasi antara inkubator dengan startup menunjukkan kecenderungan ke arah pola dialogis dan egaliter. Pola hubungan berlansung secara kompleks sehingga terjalin ketergantungan antara kedua belah pihak. Startup membutuhkan aktor personal maupun institusi yang mempunyai kapasitas tertentu untuk memastikan inovasi dapat berjalan.

Ringkasan:

Inovasi dalam industri Teknologi Informasi (TI) menjadi hal yang penting untuk dikembangkan, tidak terkecuali di Indonesia. Jumlah pengguna internet di Indonesia (2013) telah mencapai angka 82 juta atau sekitar 30% dari total penduduk Indonesia serta nilai transaksi e-commerce (2014) mencapai Rp. 130 triliun dan akan terus meningkat setiap tahunnya. Kesempatan ini kemudian mendorong berbagai aktor ikut bergerak mengembangkan inovasi dalam bisnis TI di Indonesia. Berbagai aktor tersebut seperti pemerintah, swasta, universitas, serta komunitas. Proses pengembangan inovasi dihadirkan dengan membuat program berupa co-working space, inkubator bisnis, maupun akselerator bisnis.

Dengan menggunakan perspektif global value chain, regional governance of innovation, penelitian komparasi politik inovasi dalam strategi inkubasi dan akselerasi bisnis ini, secara umum, menelaah dan memahami relasi kekuasaan antaraktor yang terlibat dan berkepentingan dalam perkembangan industri TI di Indonesia, disertai bagaimana pola relasi ini berpengaruh pada perkembangan inovasi dan akselerasi daya saing Indonesia dalam skala persaingan global. Penelitian ini dilakukan di tiga kota Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Format desain penelitian menggunakan format verifikatif dengan desain logika deduksi-hipotesis-verifikasi. Pengambilan data dilakukan melalui serangkaian wawancara mendalam dan FGD dengan para aktor objek penelitian. Model pengembangan inovasi pemerintah di antaranya dilakukan oleh BPPT dan Kominfo. PT Telkom Tbk sebagai BUMN juga mengembangkan dua inkubator bisnis di Bandung Digital Valley (Bandung), Jogja Digital Valley (Yogyakarta), dan akselerator bisnis Jakarta Digital Valley (Jakarta).

Model pengembangan swasta dilakukan oleh inkubasi bisnis, seperti Merah Putih Incorporation (Jakarta) dan PT Kaloborasi Kapital Indonesia (Bandung). Model pengembangan inkubasi bisnis oleh universitas di antaranya Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (ITB), Innovative Academy (UGM), Skystar Venture (UMN), dan Binus Creates (Binus). Sedangkan model co-working space yang dikembangkan oleh swasta, di antaranya Co&Co (Bandung), Conclave (Jakarta), Hackerspace (Bandung), dan Maliome Hackerspace (Bandung).

Secara umum, setiap inkubator bisnis memiliki kesamaan visi, yakni meningkatkan jiwa entrepreneurship dan mengembangkan startup. Layanan yang diberikan tiap inkubator bisnis, model bisnis, serta cara penjaringan startup pun memiliki keseragaman. Perbedaan mencolok terdapat pada aspek jaringan kerja. Jumlah inkubator bisnis memiliki jaringan kerja di level internasional lebih sedikit dibandingkan dengan inkubator bisnis yang memiliki jaringan kerja hanya di level nasional maupun level lokal. Inkubator bisnis milik pemerintah dan universitas tidak memiliki jaringan global yang luas. Sebaliknya, PT Telkom Tbk dan beberapa entitas dari sektor swasta memiliki jaringan global yang besar. Luasnya jaringan global ini ditentukan oleh komitmen dan koneksi founder maupun tim manajemen dari inkubator bisnis tersebut.

Perbedaan juga dilihat pada cara tiap inkubator bisnis menentukan jenis industri dari startup yang ingin dinaunginya. Beberapa inkubator bisnis ingin menaungi startup dengan ragam industri yang berbeda. Namun, keinginan ini sering kali tidak didukung dengan sumber daya inkubator bisnis yang memadai. Pembinaan pada startup dengan ragam industri membutuhkan resources yang besar. Inkubator bisnis dituntut mampu merespon kebutuhan dan tantangan tiap startup. Padahal, tiap industri memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda. Alasan ini membuat inkubator bisnis lainnya memilih fokus pada satu ranah industri.

Pada konteks governance dalam Global Value Chain (GVC), pola relasi antara inkubator dengan startup menunjukkan kecenderungan ke arah pola dialogis dan egaliter. Pola hubungan ini mengarah pada model governance yang relational. Pola hubungan berlangsung secara kompleks sehingga terjalin ketergantungan antara kedua belah pihak. Hal ini kemudian membuat startup membutuhkan Godfather—aktor (personal maupun institusi)—yang mempunyai kapasitas tertentu untuk memastikan inovasi dapat berjalan.

Lebuserih lanjut, Benjamin Joffe (2012) menegaskan bahwa dalam ekosistem startup, ada enam komponen yang perlu diperhatikan, yaitu pasar, modal, sumber daya manusia, kultur, infrastruktur, dan regulasi. Sejauh ini baru faktor pasar yang sudah memadai, sementara untuk lima komponen lainnya masih harus dikembangkan. Untuk itu, pemerintah dapat berperan sebagai enabler. Jadi pemerintah memosisikan diri sebagai penyedia sumber daya dan infrastruktur yang relevan dalam menumbuhkan bisnis startup, disertai penyusunan regulasi yang dapat mengakselerasi bisnis industri TI di Indonesia. Peran ini ditimbang lebih tepat dibandingkan dengan pemerintah berperan sebagai leader karena keterbatasan sumber daya manusia dan finansial pemerintah, ataupun sebagai user sebab dapat mengubah kondisi pasar TI Indonesia yang sudah memadai.