(08-06-2020)
Melalui pandemi pada Ramadan dan Lebaran kali ini, kita sebagai muslim seolah ditegur Tuhan rasanya menjadi penganut agama minoritas
Dulu sekali, ada seorang Indonesianis dari Belanda bernama Willem Frederik Wertheim yang mengatakan bahwa kaum Muslimin di Indonesia itu adalah “majority with minority mentality (mayoritas dengan mentalitas minoritas).”
Dalam buku yang terbit tahun 1980 dengan judul seperti frase tersebut, Wertheim mengatakan bahwa banyak aktivis muslim di Indonesia yang merasa tertindas secara politik, terpinggirkan secara ekonomi, dan seterusnya. Perasaan dikucilkan ini membuat mereka lebih bersemangat berjuang untuk menguatkan posisi Islam di panggung politik.
Muslim yang merasa minoritas itu tidak sepenuhnya salah. Pada era saat Wertheim menyusun bukunya, Pemerintah Indonesia memang masih merawat fobia terhadap politik Islam, bersanding dengan fobia terhadap komunisme.
Penguasa militer saat itu menyebutnya sebagai ekstrem kanan dan ekstrem kiri (eka dan eki). Polarisasi saat itu memang lebih keren daripada era belakangan, yang ditentukan oleh politik elektoral, seperti cebong dan kampret yang artifisial itu. Dulu, polarisasi eka dan eki itu serius, tidak main-main. Taruhannya adalah nyawa.
Namun belakangan, ketika Soeharto mulai mendekati kelompok Islam, kira-kira 10 tahun setelah buku Wertheim itu, sebenarnya mental minoritas di kalangan aktivis muslim itu bisa pulih—apalagi pasca-reformasi. Kekuatan politik Islam dengan cepat bisa mengklaim kembali peran politik dan ekonomi. Harusnya tak ada lagi mental minoritas. Muslim yang mayoritas secara jumlah itu harusnya bisa bermental mayoritas: percaya diri dan melindungi minoritas.
Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti itu. Masih banyak orang Islam di Indonesia (yang mayoritas Sunni ini) tetap bermental minoritas hingga hari ini. Merasa insecure melihat kiprah minoritas. Jangankan melindungi minoritas, merasa aman dekat minoritas saja tidak. Sebagian malah tak ragu mempersekusi minoritas jika dipandang perlu.
Mungkin muslim yang seperti itu prosentasenya kecil. Tak mudah bagi kita mengukurnya. Namun yang prosentase yang kecil itu cenderung kompak, serta tak ragu-ragu untuk berteriak dan bertindak. Sementara prosentase yang lebih besar cenderung lebih menyebar, tidak solid, dan lebih pendiam.
Saya menduga, salah satu penyebab utama mentalitas buruk di kalangan mayoritas itu adalah tiadanya pengalaman menjadi minoritas yang sebenarnya. Banyak muslim di Indonesia yang sejak lahir sampai meninggal berada di lingkungan yang serba-muslim.
Mereka bebas melakukan apapun, sehingga tak tahu rasanya terkekang dan sulit melaksanakan ibadah. Mereka jadi tak punya empati pada minoritas, yang seringkali untuk beribadah sempurna saja sulit. Akibatnya, mereka tak ragu untuk melarang minoritas beribadah, serupa dengan kaum kafir Quraish yang melarang pengikut Muhammad (yang saat itu masih minoritas) untuk beribadah.
Andai mereka pernah merasakan bagaimana repotnya jadi minoritas, mungkin bakal lain keadaannya. Muslim Indonesia yang pernah belajar atau bekerja di negara-negara non-muslim pernah merasakan hal itu. Beberapa tahun belajar di tempat seperti itu (di South Australia lalu di Western Australia) dan mengalami Ramadan di negara seperti Amerika, saya pernah merasakan betapa sulit dan langkanya peluang untuk melaksanakan hal-hal yang terasa normal kalau sedang berada di negeri sendiri.
Untuk salat Jumat, kami harus memanfaatkan ruang ibadah bersama yang tersedia di kampus. Fasilitasnya boleh dibilang sangat bagus, tapi suasana beribadahnya tidak bakal sama seperti di masjid-masjid kita yang megah dengan suara azan lantang.
Selama Ramadan, kami berkeliling dari rumah ke rumah untuk salat tarawih bersama. Seadanya, tentu saja. Itu pun tidak bisa tiap malam. Yang paling repot adalah salat Iedul Fitri dan Iedul Adha. Panitia harus mencari tempat yang cukup luas untuk menampung jamaah. Ini bukan perkara mudah, dan bukan perkara murah. Sewa hall itu bisa ratusan hingga ribuan dolar setengah hari.
Kadang kita memang bisa dapat tempat yang murah di lapangan. Tapi kalau musimnya sedang tidak memungkinkan, urusan salat ied di lapangan itu sangat repot. Orang bisa kepanasan (kalau lebaran di puncak summer) atau kedinginan (kalau lebaran di saat winter). Winter di belahan bumi selatan bersamaan dengan summer di belahan bumi utara; dan sebaliknya.
Yang juga sering jadi masalah ialah penentuan tanggal 1 Syawal. Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Muslim Muhammadiyah di luar negeri juga cenderung mengikuti hal ini. Namun NU dan gerakan Tarbiyah, misalnya, menggunakan metode rukyatul hilal. Pemerintah Indonesia juga cenderung ke arah sana. Di Indonesia, kita santai saja meributkan hal itu: hisab atau rukyat.
Di negara seperti Australia, pilihan metode itu menentukan kita mau bayar sewa hall berapa lama. Kalau pakai metode hisab, maka tanggal Iedul Fitri jadi lebih pasti. Kita cukup menyewa hall sehari. Kalau pakai metode rukyat, tanggalnya menjadi kurang pasti. Lalu kita mau menyewa hall dua hari, agar bisa menyesuaikan jadwal salat ied dengan penampakan hilal? Mubazir? Sudah risiko. Biayanya tidak sedikit lagi.
Poinnya, begitu romantika rasanya menjadi minoritas yang sebenarnya. Bukan cuma mentalitas seperti yang dicatat Wertheim dengan akurat itu. Peluang menjadi minoritas tak akan kita dapat kalau selamanya berada di lingkungan asal, di mana kita adalah mayoritas.
Kalau kita tak pernah belajar rasanya jadi minoritas, maka mudah sekali kita tergelincir pada perbuatan yang menindas minoritas. Yang sering terjadi di banyak tempat adalah minoritas dihambat untuk beribadah.
Tidak jarang rumah ibadah tak tersedia, baik karena tak ada dana untuk membangunnya, atau karena memang dilarang oleh mayoritas. Yang ada pun kerap dirusak oleh segelintir mayoritas.
Di Indonesia, sering sekali kita mendengar kelompok minoritas dipersekusi oleh segelintir kelompok mayoritas. Gereja dilarang, gereja dirusak, itu pernah kita dengar. Masjid Ahmadiyah diserang, itu juga terjadi. Kelompok Syiah dilarang beribadah, itu juga ada. Semua terjadi karena banyak orang tak tahu bagaimana rasanya dilarang beribadah.
Namun kini, pandemi COVID-19 telah memaksa semua orang untuk belajar bagaimana rasanya tak bisa menjalankan ibadah seperti yang diinginkan. Salat Jumat sangat dibatasi, tarawih apalagi, yang cuma sunah. Dan sekarang, salat ied juga harus diminimalkan (saya pribadi lebih suka jika dilarang sama sekali).
Sekarang semua muslim di Indonesia bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh kelompok minoritas yang tak leluasa menjalankan ibadah. Kita patut bersyukur, Tuhan mendidik kita cuma lewat pandemi COVID-19.
Coba bayangkan kalau Tuhan mendidik kita dengan cara menimpakan pada kita apa yang pernah dirasakan oleh minoritas di negeri ini: rumah ibadahnya dirusak, badan babak belur, sampai kadang nyawa harus melayang.
Jadi bersyukurlah, pembatasan sosial dari situasi kali ini telah memberi kita peluang untuk memahami: bahwa begini ternyata rasanya jadi minoritas yang dipepet pandemi penindasan mayoritas.
(Publikasi awal di MOJOK.CO, 26 Mei 2020 | Foto oleh Utsman Media via Unsplash)