Resensi Buku: Meneropong Demokrasi di Indonesia

(20-08-2016)

Buku ini secara luas dan mendalam mencoba untuk memahami keadaan demokrasi di Indonesia setelah Reformasi 1998. Buku ini juga menawarkan beberapa hal yang mungkin dilakukan untuk memperbaiki mutu demokrasi di Indonesia dengan berpijak pada penelitian lintas ilmu yang dilakukan secara berkala.

Para peneliti dan aktivis demokrasi dari Research Centre for Politics and Government, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Universitas Oslo, Norwegia, bekerja sama untuk melakukan penelitian pustaka, lapangan (survei dan wawancara) sekaligus merumuskan beberapa rekomendasi untuk tindakan lebih lanjut. Setelah hampir 18 tahun era reformasi, buku ini menjadi titik pijak bagi kita semua di Indonesia untuk melakukan refleksi atas apa yang telah kita lakukan, sambil memperkuat niat dan strategi untuk berjuang lebih jauh pada masa kini dan masa depan.

Para peneliti di dalam buku ini sepakat untuk menggunakan pengertian demokrasi sebagaimana dirumuskan David Beetham. Dalam arti ini, demokrasi dipahami sebagai “kontrol rakyat atas urusan-urusan publik dengan berpijak pada persamaan politis”. Urusan-urusan publik itu mencakup soal kebijakan politik terkait pendidikan, ekonomi, kesehatan, sampai berapa gaji yang mesti diterima anggota DPR di Indonesia. Rakyat memiliki hak, sekaligus kewajiban, untuk mengorganisasi diri, dan secara aktif terlibat di dalam semua proses-proses tersebut.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian lebih dalam. Pertama, kebebasan politis di Indonesia jelas berkembang pesat walaupun tidak ditunjang oleh peningkatan kerja-kerja institusi pemerintahan yang bertugas menopang demokrasi dan kebebasan tersebut. Yang sebaliknya justru terjadi, kinerja yang begitu lamban dari berbagai institusi tersebut justru menjadi penghalang bagi berbagai bentuk kebebasan politis di Indonesia. Mental birokrasi warisan dari masa lalu masih bercokol begitu kuat dan dalam di berbagai institusi politik Indonesia.

Kedua, pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, baik pada tingkat pusat maupun daerah, telah berhasil dilaksanakan. Namun, hasilnya belum seperti harapan. Yang tercipta adalah perwakilan semu. Para politisi yang terpilih belum sungguh mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang memilihnya. Mereka sibuk dengan kepentingan pribadi ataupun organisasi politis yang mendukung mereka untuk terpilih di jajaran birokrasi pemerintahan ataupun perwakilan rakyat.

Ketiga, oligarki masih begitu kuat mencengkeram dunia politik Indonesia. Sekelompok orang kaya dan berpengaruh secara politik, yang biasanya lahir dari kelompok elite politik-ekonomi masa lalu, turut campur di dalam politik, sehingga kepentingan mereka bisa tercapai walaupun dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas pada umumnya. Kita bisa melihat bagaimana para pengusaha kaya beramai-ramai menjadi caleg, kepala daerah bahkan mencalonkan diri menjadi presiden dengan dukungan dana yang amat besar. Ketika terpilih, mereka kerap kali lupa pada kepentingan dan suara dari rakyat yang mendukung mereka pada awalnya.

Keempat, berbagai kelompok masyarakat sipil yang giat melakukan proses demokratisasi di tingkat akar rumput terpecah belah (penelitian 2003-2004), baik dalam soal posisi pemikiran maupun strategi politik. Karena tercerai berai, mereka tidak memiliki daya tekan yang kuat untuk memengaruhi kebijakan politik. Mereka pun kerap kali terasing dari kekuasaan politik nyata yang memerintah. Di dalam perjalanan, beberapa kerja sama dengan posisi pemikiran serta strategi politik yang jelas di antara berbagai kelompok masyarakat sipil ini telah terjadi walaupun belum memiliki dampak kuat ke dalam pembuatan kebijakan (penelitian 2006).

Keempat hal tersebut tentu harus ditanggapi dengan saksama. Langkah pertama yang ditawarkan adalah dengan mendorong para aktivis demokrasi untuk masuk ke dalam politik. Istilah untuk langkah ini adalah “go politics”. Dengan keterlibatan langsung para aktivis di dalam berbagai institusi pemerintahan, proses demokratisasi di Indonesia untuk mencapai keadilan dan kemakmuran untuk semua bisa diperlancar. Dukungan rakyat tentu tetap menjadi titik penting di dalam langkah ini.

Meski demikian, hal ini dianggap tidak mencukupi untuk meningkatkan mutu demokrasi di Indonesia. Oligarki yang begitu kuat di berbagai bidang di Indonesia masih menjadi tantangan terbesar yang mesti dilampaui. Oleh karena itu, langkah kedua yang ditawarkan buku ini adalah dengan berfokus pada institusi negara untuk melampaui berbagai tantangan demokratisasi di Indonesia. Konkretnya adalah dengan mendirikan “saluran perwakilan demokratis tambahan” di dalam pemerintahan yang melibatkan berbagai kalangan, seperti kaum intelektual, pejabat pemerintah, aktivis, organisasi masyarakat sipil, dan perwakilan berbagai organisasi-organisasi kepentingan lainnya di masyarakat.

Di dalam lembaga tambahan ini, berbagai keputusan yang dibuat haruslah bersifat terbuka dan demokratis. Artinya, semua keputusan haruslah melibatkan rakyat secara luas di dalam proses diskusi yang terbuka dan setara sehingga mereka bisa menyampaikan pandangan-pandangan ataupun kepentingan-kepentingannya. Tujuan dasarnya adalah untuk membuat semacam blok politik di dalam masyarakat sipil sebagai pengimbang kekuasaan negara di satu sisi, dan kekuasaan bisnis-ekonomi raksasa di sisi lain. Dengan perimbangan kekuasaan ini, demokrasi sebagai kendaraan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur untuk semua bisa ditingkatkan mutu dan kinerjanya.

Yang tetap harus menjadi perhatian adalah demokrasi bukanlah semata soal sistem politik semata, seperti yang menjadi kesan dari buku Reclaiming the State ini. Demokrasi adalah pandangan hidup yang mewujud nyata ke dalam cara hidup sehari-hari, terutama soal proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama. Inilah kiranya yang menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Tanpa upaya yang menyentuh soal mentalitas demokratis ini, sistem politik secanggih apa pun akan runtuh ketika masalah datang mengguncang. Tentunya, bukan itu yang kita inginkan.

Reza AA Wattimena – Penulis; Peneliti; dan Doktor Filsafat Politik dari Universitas Filsafat Muenchen Jerman