Resensi Buku: Komodifikasi Kain Timur

21-05-2016

Seorang kawan aktivis lembaga swadaya masyarakat di kota Manokwari berkisah dan sekaligus bertanya, mengapa masyarakat di pedalaman saat sengketa pemilihan kepala daerah langsung sampai ”mati-matian” mendukung salah satu pasangan calon. Ada sekelompok masyarakat mendeklarasikan diri dalam sistem noken dan menunjukkan kain timur yang sudah tersimpan puluhan tahun sebagai bentuk ekspresi dukungan adat. Seolah begitu mudahnya ”menggadaikan” kesakralan kain timur untuk kepentingan politik. Apa yang sebenarnya terjadi?

Studi antropologi yang dilakukan Timmer (2011) tentang kain timur di kawasan Kepala Burung, Papua, menunjukkan bahwa dinamika migrasi yang tinggi di kawasan Kepala Burung salah satunya dipicu oleh pertukaran intensif kain timur. Simpulan Pouwer dan Haenan (1988) menyebutkan masyarakat di kawasan Kepala Burung ini sebagai Peoples on the Move, yaitu masyarakat yang selalu bergerak berpindah-pindah dan membentuk jaringan perkawinan dan kekerabatan.

Pertukaran kain timur dalam perkawinan, kompensasi (ganti rugi), dan ritus-ritus agama lokal inilah yang membentuk ikatan antarmarga menjadi jaringan kekerabatan. Budaya pemberian ini kemudian mengikat masyarakat dalam solidaritas sosial yang kuat, dan terbukti ampuh dalam membangun solidaritas sosial di bidang pendidikan dan politik bagi sebagian marga di kawasan Kepala Burung. Kesadaran untuk meningkatkan derajat sosial melalui pendidikan dan menguasai akses politik modern bertransformasi menjadi penguasaan jabatan-jabatan politik di pemerintahan.

Buku ini memberikan gambaran mengesankan sekaligus menjadi cermin kuasa produksi pengetahuan tentang Papua di negeri ini. Buku ini sangat elitis dan mewakili dengan sangat baik perspektif negeri ini dan institusi-institusi pendidikannya dalam memandang negeri cenderawasih. Buku ini menganalisis ”perjuangan” seorang tokoh politik yang bersiasat dengan mengapropriasi (mencuri) modal sosial kain timur untuk menjadi pejabat publik. Kain timur menjadi produk yang dikomodifikasi (didaur ulang, diperbarui) untuk tujuan meraih kekuasaan.

Politik pemberian dalam budaya pertukaran kain timur diadopsi sekaligus dimanfaatkan dengan sangat cerdik. Politik pertukaran kain timur yang diungkapkan penulis buku ini memiliki kekuatan ”saling mengunci” antara si pemberi dan si penerima secara terus-menerus tanpa terputus. Tesis ini menghadirkan pertanyaan vital dalam konteks kuasa dan ”kemerdekaan” kedua belah pihak (pemberi dan penerima). Dalam wacana yang lebih luas, ada persoalan besar dalam relasi antara para elite dan rakyat Papua dalam ekspresi politik dan kebudayaannya.

Elite Panipu?

Ada persoalan serius dalam akses terhadap kekuasaan dan imajinasi tentang transformasi sosial budaya antara para elite Papua dan orang Papua biasa. Klasifikasi ini memang masih bisa diperdebatkan, tapi secara gamblang kita bisa menyaksikan tidak ada kekuatan yang berimbang untuk ”saling mengunci” (dalam kasus tokoh politik dan pertukaran kain timur) itu. Yang justru terjadi adalah praktik tipu muslihat di mana terjadi ketimpangan antara orang Papua yang tergolong elite dan non-elite. Akses untuk merebut kuasa ekonomi dan politik antara para elite Papua dan orang Papua biasa sangat-sangat jauh. Apalagi membicarakan imajinasi mereka terhadap transformasi sosial budaya.

Demam pemekaran yang menggelora di Papua sampai hari ini disambut orang-orang Papua dalam berbagai dukungan dengan mimpi akan menghadirkan pembangunan, kesejahteraan, dan kemajuan yang lebih baik di daerah mereka. Namun, mimpi kesejahteraan tidak kunjung terjadi. Yang terjadi justru keranjingan meminta pemekaran daerah. Orang-orang Papua biasa menyerahkan nasibnya kepada para elite yang menjadi broker/penghubung dari mimpi yang mereka gantungkan kepada negara ini melalui pemekaran daerah. Di sinilah sumber persoalannya, yaitu pada hubungan yang terbangun antara orang Papua biasa dan para elitenya sendiri. Para broker ini juga memerlukan biaya untuk diri mereka sendiri agar bisa hidup.

Kasus apropriasi modal sosial pertukaran kain timur untuk menjadi bupati menjadi contoh gamblang praksis relasi orang Papua dengan para elitenya. Di tengah situasi yang melumpuhkan mimpi perubahan sosial itulah orang-orang Papua non-elite mempelajari perilaku para elite mereka. Dengan cerdik, mereka kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dalam berelasi dengan keluarga, orang lain, pemerintah, dan lingkungan alam. Jadi, bisa dibayangkan relasi-relasi sosial budaya seperti apa yang terjadi di dalam komunitas-komunitas di tanah Papua dalam kondisi seperti ini. Situasi yang ”melumpuhkan” tersebut semakin menjauhkan mimpi orang-orang Papua non-elite untuk berubah.

Hierarki dan Imajinasi

Imajinasi transformasi sosial budaya orang Papua menghadapi kompleksitas yang serius berhubungan dengan kesadaran untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari kelompok suku dan marga atau menjadi bagian dunia global. Kesadaran suku dan marga menempatkan ”kebenaran” ada pada suku dan marga mereka. Hal sama terjadi pada suku dan marga lainnya. Semuanya menempatkan diri sebagai ”pusat” dan ”penguasa”. Hierarki kebudayaan dalam setiap suku dan marga di tanah Papua tiba-tiba harus berhadapan dengan penetrasi modernisasi bernama birokrasi, kapitalisme global, dan introduksi lainnya, yang membuat orang Papua di kampung-kampung berimajinasi tentang diri dan kebudayaan mereka.

Bagi orang Papua sendiri, kembali ke adat dan tradisi bukanlah jalan tengah yang baik dan menguntungkan di tengah interkoneksi global, yang menjadikan Papua sebagai wilayah frontier, garis depan pertemuan kapitalisme global dan komunitas kampung. Berkiblat ke modernisasi juga kurang meyakinkan karena lompatan kebudayaan yang menyebabkan kurangnya kepercayaan diri mengikuti logika kapitalisme yang bisa menelan kehidupan orang Papua sendiri. Justru pertemuan antara kesadaran hierarkis budaya Papua (”kebenaran” ada dalam diri suku dan marga) dan siasat untuk melampaui hierarki budaya suku dan marga tersebut melahirkan ruang-ruang kreatif bagi orang Papua untuk menemukan kemungkinan solidaritas interkoneksi antarkomunitas dalam gerakan transformasi sosial budaya dalam diri orang Papua tersebut.

Orang Papua di satu sisi terikat dinamika internal yang berkaitan dengan marga, kepemilikan tanah, dan perebutan akses sumber daya di dalamnya. Namun, di sisi lain, orang Papua dituntut untuk berimajinasi tentang dunia di luar kampung dan adat budayanya. Momen-momen inilah yang sangat memungkinkan orang Papua untuk melakukan penafsiran terus-menerus terhadap budaya dan identitasnya untuk bergerak maju mengubah diri.

I Ngurah Suryawan – Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat

——————–

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2016, di halaman 24 dengan judul “Komodifikasi Kain Timur”.