Konsorsium Ground Up Ungkap 5 Faktor Yang Memperparah Banjir di Semarang

JoSS, SEMARANG – Konsorsium Ground Up, sebuah tim penelitian terhadap kondisi air tanah di Semarang mengungkapkan ada lima temuan faktor penyebab banjir di wilayah pesisir Semarang yang semakin parah dari tahun ke tahun, banjir terakhir terjadi pada 6-7 Februari 2021.

Tim peneliti yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses terhadap dan risiko terkait air di Kota Semarang sejak Oktober 2020 – Januari 2021.

Direktur Amrta Institute for Water Literacy Nila Ardhianie mengatakan dalam penelitian yang dilakukan di enam lokasi di Semarang dengan jumlah responden 319 orang, mengungkapkan lima faktor yang memperparah banjir di Ibu Kota Jawa Tengah ini.

Temuan pertama yang relevan dengan banjir yang terjadi pada awal bulan ini adalah tingginya ketergantungan masyarakat pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Ke dua yakni tingkat dampak yang dirasakan warga yang tinggal di daerah dekat pantai yang makin tinggi. Responden yang tinggal di Mangkang Wetan, Randu Garut, Terboyo Kulon dan Terboyo Wetan paling banyak mengalami banjir (baik akibat luapan sungai maupun rob).

Temuan ketiga mengungkapkan penduduk yang tinggal di dekat pantai menghadapi risiko lain terkait air yaitu kesulitan mendapat air bersih, dimana air di daerah ini biasanya payau karena terpengaruh air laut.

Baca juga:  Muka Tanah Terus Turun, Wilayah Pesisir Kota Semarang Mulai Ditinggalkan Investor

Keempat, perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul dan Terboyo juga berperan meningkatkan risiko banjir. Kelima dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa respon dominan terhadap banjir adalah melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidraulik.

Dr. Amalinda Savirani, Kepala Departemen Politik & Pemerintahan, Fisipol Uiversitas Gadjah Mada Yogyakarta menambahkan perubahan tata guna lahan dari fungsinya sebagai daerah resapan dari daerah bagian atas kini menjadi kawasan perumahan dan industri.

“Hal ini menyebabkan kapasitas infiltrasi berkurang, air tidak dapat meresap ke tanah sehingga tergenang. Selain itu perubahan tata guna lahan juga menambah beban tanah di area tersebut yang potensial menyebabkan terjadinya amblesan tanah,” tuturnya.

Bosman Batubara, Mahasiswa Program Doktor pada IHE Delft Institute for Water Education mengatakan berdasarkan riset tersebut, pihaknya menyimpulkan risiko terkait air di Semarang sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasan rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut dan konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi maka pendekatan yang digunakan sekarang tidak lagi tepat digunakan sebagai pendekatan utama.

“Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk mengurangi risiko banjir di Semarang adalah pengelolaan dari sisi permintaan (demand management) melalui efisiensi penggunaan air. Pemerintah juga perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah,” tuturnya.

Selain itu, pemanenan air hujan pada beragam skala dan pengembangan sistem peringatan dini perlu ditingkatkan. Di sisi lain  demokratisasi infrastruktur, yaitu: mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan mega infrastruktur yang tersentral dan biasanya dipaksakan dari “atas ke bawah”, pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari “bawah ke atas”.

Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola pada IHE Delft Institute for Water Education, Dr. Michelle Kooy mengatakan pemahaman yang lebih baik akan faktor-faktor yang berpengaruh meningkatkan risiko banjir perlu dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat agar Semarang memiliki respon yang lebih baik apabila terjadi bencana di masa datang.

“Dalam konteks ilmu sosial, kenapa terjadi banjir yang semakin parah di Semarang, tidak selalu dikaitkan dengan hujan dan struktur geologis. Namun soal pilihan yang diambil oleh para penentu kebijakan terkait perencanaan kota, arah kebijakan dan lain sebagainya. Jika kondisi ini terus  berlanjut, saya rasa diskusi bahwa pesisir Semarang akan tenggelam dalam 10 tahun mendatang sudah sering dibicarakan,” pungkasnya. (lna)

(Publikasi awal di Joss.co.id, 17 Februari 2021 )

Foto oleh: Joss.co.id

 

Tulisan di laman artikel merupakan opini individu. Interpretasi data dan analisis merupakan tanggung jawab pribadi yang bukan merupakan sikap resmi lembaga PolGov-DPP.