Ini Faktor Banjir di Semarang Menurut Konsorsium Ground Up (17-02-2021)

Semarang, Kabarku.net – Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil (IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Amrta Institute dan KruHA) melakukan penelitian mengenai akses terhadap dan risiko terkait air di Kota Semarang.

Penelitian dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah (kritis, rentan dan aman), akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir, dan amblesan tanah.

Metode yang digunakan adalah survey dengan 319 responden yang berada di enam lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur.

Anggota tim peneliti Dr. Amalinda Savirani (Kepala Departemen Politik & Pemerintahan, Fisipol Uiversitas Gadjah Mada Yogyakarta), Prof. Margreet Zwarteveen (Professor Tata Kelola Air pada University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education), Dr. Michelle Kooy (Departemen Sistem Air Terpadu dan Tata Kelola pada IHE Delft Institute for Water Education), Bosman Batubara (Mahasiswa Program Doktor pada IHE Delft Institute for Water Education), Nila Ardhianie (Direktur Amrta Institute for Water Literacy dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang), dan Muhammad Reza Shahib (Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Atas Air – KruHA)

Dari hasil penelitiaan yang dilakukan sejak Oktober 2020-Januari 2021 menemukan beberapa faktor  yang relevan dengan kejadian banjir yang terjadi di Semarang pada awal Februari 2021.

“Faktor yang relevan dengan banjir yang baru saja terjadi adalah ketergantungan Semarang yang besar pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari sebesar 79,7 persen,” ujar Nila Ardhiane pada jumpa pers online, Selasa (16/2).

Menurunya, dari 79,7% tersebut,  sebanyak 48.6 % menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31.1 % menggunakan air tanah dangkal (ATDl).

Ketergantungan pada air tanah ini, lanjut Nila, relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence) yang berdampak pada peningkatan risiko banjir.

Banjir yang dimaksud adalah, banjir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada dan banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang.

“Penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut,” ujarnya.

Faktor penyebab banjir lainnya, menurut Kepala Departemen Politik & Pemerintahan, Fisipol Uiversitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr. Amalinda Savirani, perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul, dan Terboyo.

Semula kawasan ini adalah tempat resapan air dari bagian Semarang atas dan sekarang telah berubah menjadi kawasan perumahan dan industri.

“Hal ini menyebabkan kapasitas infiltrasi berkurang, air tidak dapat meresap ke tanah sehingga tergenang. Selain itu perubahan tata guna lahan juga menambah beban tanah di area tersebut yang potensial menyebabkan terjadinya amblesan tanah,” jelasnya.

Berdasarkan penilitian ini, Bosman Batubara menyimpulkan risiko terkait air di Semarang sebagai bagian integral dari lokasinya yang berada di kawasan rendah dengan jenis tanah alluvial muda, kenaikan muka air laut, konsentrasi penduduk, dan aktivitas ekonomi.

“Pendekatan yang digunakan sekarang, tidak lagi tepat digunakan sebagai pendekatan utama,” ujarnya.

Untuk mengurangi risiko banjir di Semarang, menurut Bosman, yakni pengelolaan dari sisi permintaan (demand management) melalui efisiensi penggunaan air.

Pemerintah perlu mengembangkan insentif bagi penggunaan air permukaan dan disinsentif bagi penggunaan air tanah, pemanenan air hujan pada beragam skala, pengembangan sistem peringatan dini.

“Serta demokratisasi infrastruktur yakni  mencari alternatif-alternatif infrastruktur dengan prinsip meninggalkan mega infrastruktur yang tersentral dan biasanya dipaksakan dari atas ke bawah, pindah ke infrastruktur yang lebih kecil, terdesentralisasi, dan lebih partisipatoris menyerap aspirasi atau model praksis dari bawah ke atas,” katanya.

(Publikasi awal di Kabarku.net, 16 Februari 2021)

Foto oleh: Kabarku.net