Jangan Lihat Papua dengan Logika Jawa

(13-10-2016)

SEJAK Kemerdekaan (atau mungkin sejak didirikan), dalam catatan saya, belum pernah terjadi rakyat menggeruduk berdemonstrasi ke Pura Pakualaman Yogyakarta, apapun sebabnya. Urusan tanah yang menjadi sumber ekonomi dan politik, selalu menjadi persoalan penting seluruh kerajaan. Walaupun sebagian orasi demo disampaikan dalam bahasa Jawa Krama, spanduk bernada keras dan belum pernah terjadi dalam tradisi protes terhadap institusi tradisional dalam masyarakat Jawa. Yang menilai segala sesuatu menggunakan rasa.

Protes paling keras yang secara tradisional dikenal hanyalah tapa pepe, berjemur bertelanjang dada di antara beringin kurung meminta keadilan Sultan. Sehingga, protes besar 15 September lalu yang salah satu spanduknya antara lain berbunyi “Paku Alam Jangan Pelit”, perlu disikapi dalam konteks masyarakat yang berubah.

Institusi tradisional seperti Pura Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta berbeda dengan pemerintah dan institusi modern lainnya. Keduanya ditegakkan dan didirikan dengan mekanisme patron-client yang dihubungkan melalui tanah. Raja sebagai patron, mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari rakyat sebagai client yang hidupnya bergantung pada tanah sebagai sumber ekonomi masyarakat agraris.

Secara berkala setiap tahun, Raja menerima ungkapan terima kasih berupa hasil bumi dan ternak yang jumlahnya selalu kurang dari keuntungan yang diterima penggarap. Rakyat merasa dirinya harus ikut nyengkuyung sang Raja lewat momen penting seperti Grebeg, Jumenengan dan Mubeng Beteng. Hal ini berbeda 180 derajat dengan konsep negara modern dimana hubungan dibangun dengan logika impersonal yang menempatkan setiap orang sama, setara dengan perlakuan yang sama.

Karenanya, hubungan yang terjadi antara Panitia Ganti Rugi Bandara dengan pemilik dan penggarap tanah adalah hubungan putus. Hubungan itu selesai ketika masing-masing pihak merasa sudah mendapatkan dan memberikan rupiah yang disepakati. Tidak ada rasa ewuh pakewuh yang bermain, semuanya sudah digantikan melalui nominal transfer. Bagi yang tidak puas, ngganjel atau mangkel, silakan menempuh keadilan di pengadilan.

Kompensasi transaksional tidak serta merta bisa diterapkan dalam mekanisme ganti rugi penggarap tanah PA. Di satu sisi, pihak PA tidak akan rela dengan mekanisme ganti putus karena akan kehilangan basis pendukungnya, meskipun sebagian besar akan menempati tanah magersari sebagai tempat tinggal pengganti. Di sisi lain, petani penggarap merasa butuh rupiah karena kehilangan mata pencaharian yang dalam kondisi masyarakat yang semakin konsumtif, semakin besar tentu semakin baik. Selain itu, ganti rugi yang diterima Pakualaman juga meningkat karena tanah itu sudah diolah menjadi tanah produktif. Terlepas apakah petani penggarap pernah meminta izin atau menyerahkan bagian panen ke Pura yang mereka yakini sebagi pemilik tanah.

Persoalan lainnya terkait keadilan untuk kompensasi penggarap yang variatif. Penggarap tanah PA bisa dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, mereka yang miskin dan hanya mengandalkan penghasilan dari menggarap tanah PA dan tidak menerima ganti rugi lainnya. Mereka ini yang harus diprioritaskan, harus dijamin dan diusahakan sumber ekonomi penggantinya. Kedua, petani penggarap yang juga memiliki tanah lain yang mendapat kompensasi. Tanah lain yang mendapatkan kompensasi bisa akibat akumulasi keuntungan dari mengolah tanah PA atau dari sumber lainnya. Ini adalah penggarap prioritas kedua. Ketiga, segelintir oportunis yang merasa ganti rugi telah diterima dari tanahnya kurang dari yang mereka harapkan atau telah mereka investasikan.

Ganti rugi Rp 702 miliar yang akan diterima PA sejatinya akan digunakan untuk membeli tanah kembali. Inilah investasi terbaik yang bisa dilakukan PA untuk menjamin, tidak hanya kelangsungan ekonomi, tetapi juga dukungan politik dan budaya. Petani penggarap akan terus diupayakan menjadi political enabler yang setiap saat bisa digunakan untuk kepentingan Pura. Ironisnya, Pura tidak memiliki data lengkap tentang tanah dan siapa saja pengguna tanahnya.

Masing-masing pihak harus mencari titik temu antara rasionalitas dan rasa. Demonstrasi sebagai wujud konkret pressure group dalam logika masyarakat modern bisa jadi kurang efektif untuk menekan institusi tradisional. Karena dari sisi hukum, petani penggarap dalam posisi lemah karena tidak diakui sebagai pemilik lahan sesuai regulasi. Tidak percaya, gugatlah ke pengadilan. Inilah institusi terakhir yang menunjukkan betapa rasa sudah tak lagi bekerja.

(Bayu Dardias. Dosen DPPFisipol UGM, menulis disertasi Politik Para Raja di Nusantara di ANU Canberra. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 13 Oktober 2016)