Otonomi Daerah: Tak Ada Jalan Kembali Menuju Sentralisasi

(15-04-2016)

Harianjogja.com, JOGJA-Selama 20 tahun berjalannya otonomi daerah memberikan dampak positif dan negatif kepada daerah dan negara Indonesia secara umumnya. Meski demikian, tak ada lagi jalan atau alasan yang membenarkan untuk Indonesia apabila akan kembali menjalani era sentralisasi.

Dosen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada yakni Mada Sukmajati pada Senin (25/4/2016) menyebutkan, dirinya mengajak semua pihak untuk memandang otonomi daerah secara optimis. Walaupun ada beberapa segmen kehidupan yang perlu disoroti dalam kemunculan otonomi daerah, yakni mulai dari perilaku korupsi, politik dinasti, pelayanan publik dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Otonomi sendiri erat kaitannya dengan reformasi, adanya sebuah partisipasi masyarakat di dalam berjalanannya pemerintahan. 20 tahun berjalannya otonomi daerah ini hendaknya menjadi jalan kontemplasi apa yang baik, dan apa yang buruk dari otonomi daerah, untuk kemudian menjadi dasar pertimbangan kebijakan, menuju arah yang lebih baik.

Otonomi daerah di satu sisi juga memberikan dampak positif akan munculnya terobosan di bidang pelayanan publik, munculnya pemimpin alternatif berasal dari lokal, pemimpin lokal yang bisa menjalin hubungan dengan pemerintah luar negeri untuk kemajuan daerah. Tentu saja, otonomi daerah juga telah banyak berkontribusi menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak bisa lagi problematika yang muncul di tengah berjalanannya otonomi daerah menjadi alasan diterapkannya lagi sentralisasi.

“No poin of returns [tak ada alasan apapun yang membenarkan untuk kembali ke sentralisasi] selain meneruskan otonomi daerah yang sudah berjalan ini. Poin positif dari otonomi daerah perlu dipertahankan, sedangkan yang negatif bisa dicari solusinya, itu yang penting, semangat optimisme perlu ditumbuhkan,” kata dia.

Sementara itu Hasrul Hanif menjelaskan hal yang tak jauh berbeda. Di era otonomi daerah, Indonesia perlu mengakui ada sejumlah daerah yang mampu melahirkan kebijakan afirmatif, di sisi lain ada juga daerah yang masih menerapkan oligarki politik dan justru membuat kinerja daerah tidak optimal dalam mengelola SDA, menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan, keuangan dari hasil pengelolaan SDA itu sendiri tidak terdistribusi dengan baik dan menyebabkan tata kelola pemerintahan bermasalah.

Pelayanan publik, terutama yang melayani masyarakat terkait kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, terlihat berkembang menuju arah yang positif di era otonomi daerah. Bukan hanya sekedar terpenuhi, melainkan juga memunculkan banyak inovasi. Namun ada masalah lain yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah, utamanya di daerah yang memiliki kontrol publik dan transparansi yang rendah.

Disinggung soal korupsi, Hasrul menekankan bahwa kita tidak bisa serta-merta mengatakan korupsi menjadi semakin masif di era pemerintahan. Karena korupsi bukan disebabkan oleh efek distribusi kekuasaan, melainkan adanya polarisasi kekuasaan. Ia menyayangkan cukup banyak pihak yang kemudian mengatakan otonomi daerah menjadi penyebab munculnya raja-raja kecil di daerah, padahal korupsi terjadi karena adanya polarisasi kekuasaan yang tidak berubah.

“Jadi mau ada otonomi daerah atau tidak, sebetulnya korupsi tetap menjadi masalah. Ditambah lagi masih ada sejumlah daerah yang masih minim transparansi kepada publik dan kontrol publik yang lemah terhadap pemerintah,” imbuh dia.

Hasrul dalam kesempatan ini juga memuji sejumlah daerah yang telah menunjukkan pelaksanaan trasnsparansi publik seperti Batang, Bojonegoro, yang telah sadar menjadikan transparansi sebagai penutup jalan menuju penyimpangan. Karena korupsi adalah penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan privat atau pribadi. Jadi, dalam otonomi daerah yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan otonomi daerah sendiri bisa membuka ruang luas untuk adanya transparansi dan kontrol publik. Korupsi di masa sentralisasi, dijumpai di pusat pemerintahan, yang banyak terdapat di Jakarta. Namun di era otonomi, korupsi memang kemudian banyak ditemukan terjadi di daerah.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) termasuk beruntung, lanjut dia. Karena pemerintah di DIY dikelilingi banyak organisasi masyarakat sipil yang mendukung jalannya pemerintah lewat pengawasan dan kontrol, yang membuat pemerintah tidak lepas dari pengawasan publik.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Hifdzil Alim mengatakan, tanpa menyebut jumlah angka secara pasti, kasus korupsi di era otonomi daerah terbilang tinggi. Tindak korupsi mulai terjadi dalam bentuk suap menyuap dalam praktek politik, utama lagi dalam pembangunan infrastruktur.

“Teori patron client masih sangat mafhum ada di daerah,” kata dia.

[Publikasi awal di Harian Jogja]